Siapa Saja Yang Haram Dinikahi Karena Sebab Hubungan Keturunan
Sebuah hubungan yang sehat tidak sulit untuk mencari kebahagiaan, karena setiap kali mereka bersama atau dekat dengan pasangannya pun mereka sudah merasa bahagia sebaliknya di dalam sebuah hubungan yang tidak sehat, kebahagiaan akan sulit dirasakan, karena setiap kali mereka berdekatan dengan pasangan perasaaan cemas, rendah diri dan ketakutan akan sering menghantui namun tetap tidak berani keluar dari hubungan tersebut, terlebih lagi jika pasangan mereka cenderung pelaku kekerasan baik secara verbal ataupun fisik.
Bagaimana dengan kalian, hubungan seperti apa yang sedang kalian jalani dengan pasangan? Semoga kita bisa menemukan pasangan yang sama-sama mau berusaha membangun hubungan yang sehat yang dapat membawa kebahagiaan. Jika belum, jangan berkecil hati selalu bersemangat dengan terus berusaha memantaskan diri agar bisa menjadi calon pasangan seperti yang kalian selalu idamkan.
Ditulis oleh Muhammad Faizal Amin
Syarat dan Cara Menyalurkan Zakat Fitrah
Zakat fitrah dibayarkan setiap bulan suci Ramadhan mulai dari terbit fajar sampai dilaksanakan shalat Idul Fitri. Sedangkan syarat wajib untuk membayar zakat berdasarkan panduan dari Kementerian Agama adalah:
Setiap Muslim, baik yang merdeka mempunyai kewajiban untuk membayar zakat tepat pada waktunya. Hal ini tidak bisa ditawar selama memenuhi ketentuan.
Muslim yang wajib berzakat adalah yang masih hidup sampai pada malam terakhir Ramadhan. Jika meninggal pada saat bulan Ramadhan dan belum sempat membayar, maka keluarga tidak berkewajiban untuk memberikannya.
Islam selalu mengedepankan hal yang paling prioritas, yaitu memenuhi kebutuhan keluarga. Umat Islam yang wajib membayar zakat fitrah harus sudah mempunyai persiapan bahan makanan pada hari raya Idul Fitri.
Cara menyalurkan zakat fitrah adalah:
untuk jenis makanan yang sebaiknya digunakan membayar zakat fitrah adalah menyesuaikan dengan apa yang paling sering dimakan.Jika beberapa waktu sebelumnya jenis yang paling sering adalah nasi atau beras, maka bahan makanan inilah yang diberikan pada penerima.
Keluarga kita juga mempunyai kewajiban untuk membayar zakat fitrah. Ketika mengeluarkannya sebaiknya, juga menghitung dan membayarkan kewajiban dari anggota keluarga yang menjadi tanggungan.
Seperti amalan yang lain, maka sebelum membayar zakat fitrah harus mengucapkan niat terlebih dulu. Jika diartikan dalam Bahasa Indonesia niat zakat fitrah adalah, “Aku mengeluarkan zakat fitrah untuk diriku sendiri, fardhu karena Allah Ta’ala”.
Berikutnya, cara membayar zakat fitrah adalah dengan mendatangi amil atau orang yang mengurusnya. Biasanya di setiap masjid atau mushola ada panitia yang bertugas untuk menerima dan menyalurkan zakat fitrah. Meski demikian, boleh membayar dimana saja, misal di tempat kerja atau langsung kepada yang berhak menerima.
Pembayaran zakat fitrah tidak boleh melebihi atau sebelum waktu yang ditentukan. Ketentuan ini harus ditepati, jika tidak sesuai maka pembayarannya tidak dianggap sebagai zakat, namun sedekah biasa.
Setelah membayar zakat fitrah dianjurkan berdoa yang artinya, “Ya Allah, terimalah amal ibadah kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Tujuan berdoa adalah agar pemberi atau orang yang membayar zakat mendapatkan keberkahan. Doa ini boleh diucapkan dalam hati atau di batin saja.
Ikhlas artinya merelakan atau tidak mengungkit lagi apa yang sudah kita berikan sebagai cara untuk memenuhi kewajiban umat Muslim. Setelah memberikannya tidak boleh menceritakan atau mengingat kembali. Apalagi terhadap si penerima karena dapat menyakiti hatinya.
Kaedah dalam Harta Haram Karena Usaha (Pekerjaan)
Kaedah dalam memanfaatkan harta semacam ini -semisal harta riba- disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin,
أن ما حُرِّم لكسبه فهو حرام على الكاسب فقط، دون مَن أخذه منه بطريق مباح.
“Sesuatu yang diharamkan karena usahanya, maka ia haram bagi orang yang mengusahakannya saja, bukan pada yang lainnya yang mengambil dengan jalan yang mubah (boleh)” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)
Contoh dari kaedah di atas:
1- Boleh menerima hadiah dari orang yang bermuamalah dengan riba. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)
2- Boleh transaksi jual beli dengan orang yang bermuamalan dengan riba. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)
3- Jika ada yang meninggal dunia dan penghasilannya dari riba, maka hartanya halal pada ahli warisnya. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 10)
Contoh-contoh di atas dibolehkan karena harta haram dari usaha tersebut diperoleh dengan cara yang halal yaitu melalui hadiah, jual beli dan pembagian waris.
اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
Allahummak-finii bi halaalika ‘an haroomik, wa aghniniy bi fadhlika ‘amman siwaak. [Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dari-Mu dan jauhkanlah aku dari yang Engkau haramkan. Cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dan jauhkan dari bergantung pada selain-Mu]. (HR. Tirmidzi no. 3563 dan Ahmad 1: 153. Kata Tirmidzi, hadits ini hasan ghorib. Sebagaimana disebutkan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 1: 474, hadits ini hasan secara sanad)
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
@ Maktab Jaliyat (Islamic Center) Bathaa’, Riyadh-KSA, 28 Shafar 1434 H
[1] HR. Ibnu Majah no. 3174, shahih kata Syaikh Al Albani.
Harta haram itu ada dua:
Jenis kedua ini ada perbedaan pendapat dari dua sisi:
Terkait dengan pelakunya jika ia bertaubat, apakah ia wajib mengembalikan atau disedekahkan atau boleh dimiliki ?
Kaitannya dengan boleh dimiliki, apakah dibedakan antara orang yang tidak tahu kalau hukumnya haram dan orang yang sudah mengetahuinya ?
Silahkan dibaca penjelasan masalah ini pada jawaban soal nomor: 219679
Apakah harta tersebut menjadi halal bagi orang selain pelakunya, seperti pindahnya harta tersebut kepada orang lain karena sebab yang mubah, seperti karena hibah, diwariskan, atau untuk nafkah ataukah tetap tidak halal ?
Para ahli fikih berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat:
Pertama: Tetap tidak halal bagi pelakunya dan juga bagi orang lain.
Ini pendapatnya jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan yang dipilih oleh Lajnah Daimah.
Kedua: Harta tersebut menjadi halal bagi selain pelakunya, jika harta tersebut berpindah dari pelaku kepada orang lain dengan cara yang halal, seperti; hibah, warisan dan lain sebagainya.
Pendapat inilah yang menjadi sandaran Malikiyah, dan sebagian Hanafiyyah, Hasan Al Basri, Az Zuhri, dan yang dipilih oleh Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah-.
Baca juga: Al Asybah wa An Nazhair, karya: Ibnu Nujaim: 247, Hasyiyah Ibnu Abidin (5/99), Fatawa Ibnu Rusyd: 1/640, Ad Dakhirah karya Al Qarafi: 13/318, Manhu Al Jalil Syarah Mukhtashor Kholil: 2/416, Ihya Ulumuddin: 2/130, Al Majmu’: 9/351, Al Inshaf: 8/322, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah: 29/307, dan Fatawa Lajnah Daimah: 16/455.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seseorang yang berlaku riba, ia telah meninggalkan harta dan anak yang dia mengetahui kondisi ayahnya. Apakah harta tersebut menjadi halal baginya dengan warisan atau tidak ?
“Adapun masalah bahwa anaknya mengetahui kalau harta ayahnya mengandung riba, maka hendaknya ia mengeluarkannya dengan cara mengembalikannya kepada pemiliknya jika memungkinkan, namun jika tidak maka disedekahkan, dan sisanya sudah tidak haram lagi baginya, akan tetapi sejumlah harta yang masih syubhat maka disunnahkan untuk ditinggalkan, jika tidak harus digunakan untuk membayar hutang atau menafkahi keluarga.
Kalau ayahnya tersebut masih terikat dengan transaksi ribawi dimana pada ahli fikih masih memberikan rukhsoh (keringanan), maka ahli waris diperbolehkan mempergunakannya.
Jika hartanya masih bercampur antara yang halal dan yang haram, maka masing-masing diperkirakan dan hartanya dibagi menjadi dua bagian. (Majmu’ Fatawa: 29/307)
Ini merupakan pendapat jumhur ulama
“Dan diriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa ia berkata tentang seseorang yang bekerja lalu ia terjerumus ke dalam sogokan, korupsi, dan pembagian seperlima (dari negara) dan bagi siapa saja yang bisnisnya banyak mengandung riba. Semua yang ia tinggalkan dari harta warisan maka akan menjadi haknya ahli waris dengan warisan yang telah Allah wajibkan kepada mereka, baik mereka mengetahui buruknya pekerjaannya atau tidak mengetahui. Sementara dosa kedzoliman dilimpahkan kepada pelaku dosa tersebut”. (Fatawa Ibnu Rusyd: 1/640)
Ini merupakan pendapat yang kedua.
Yang menjadi dalilnya Jumhur adalah bahwa harta tersebut tidak halal bagi pelakunya dan tidak dapat dimiliki secara syari’at. Seharusnya melepaskan diri atau mengembalikannya dan tidak dialihkan kepada orang lain; karena peralihan kepemilikan melalui warisan atau dengan hibah adalah menjadi bagian dari kepemilikannya juga, maka dalam hal ini tidak diperbolehkan.
Sedikit sekali Jumhur (mayoritas ulama) membahas dalam masalah ini, karena bertumpu pada hukum asal, yaitu; ia termasuk harta yang haram, sehingga dengan kematian tidak dapat merubah harta tersebut menjadi baik, begitu juga perpindahan dari satu tangan ke tangan lainnya.
Yang menjadi dalil pendapat kedua:
Hal ini dijawab bahwa hartanya orang-orang yahudi itu termasuk harta yang campur, sementara pembahasan ini berkaitan dengan harta yang haram yang tidak bercampur dengan yang lainnya.
Akan tetapi telah dinyatakan dari Ibnu Mas’ud yang menguatkan madzhab ini, hal itu sangat jelas sekali, Ibnu Rajab –rahimahullah- berkata:
“Telah diriwayatkan dalam hal itu beberapa atsar dari generasi salaf, ada riwayat yang shahih dari Ibnu Mas’ud bahwa ia pernah ditanya tentang seorang tetangga yang memakan harta riba dengan terang-terangan dan tidak menjauhi harta yang buruk yang ia ambil dan mengajaknya untuk makan bersama, maka ia berkata: “Datangilah undangannya, karena hidangan itu baik bagi kalian, sementara dosanya hanya bagi dia”.
Dan di dalam riwayat lain ia berkata: “Saya tidak mengetahui sesuatu kecuali (hartanya) adalah buruk atau haram, lalu beliau berkata: “Penuhilah undangannya”.
Imam Ahmad telah menshohehkan riwayat ini dari Ibnu Ma’ud, akan tetapi ia berbeda dengan apa yang diriwayatkan darinya bahwa ia berkata: “Dosa adalah yang menguasai hati”.
Dan telah diriwayatkan dari Sulaiman seperti ucapan Ibnu Mas’ud yang pertama, dan dari Sa’id bin Jabir, Hasan Al Basri, Muwarriq Al ‘Ijli, Ibrahim An Nakho’i, Ibnu Sirin dan yang lainnya. Ada banyak atsar yang ada di dalam kitab “Al Adab” karya Humaid bin Zanjawaih dan sebagiannya di dalam kitab “Al Jami’” karya Al Khallal, dan di dalam karya Abdurrazzaq bin Abi Syaibah dan yang lainnya”. (Jami’ Al Ulum wal Hikam: 1/209-210)
Jawaban dari hal ini adalah, jika memang demikian maka harta itu akan menjadi hutang dan tanggungan si mayyit, maka diwajibkan kepada ahli waris untuk melunasi hutang tersebut sebelum pembagian harta warisan.
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:
“Sebagian ulama berkata, harta yang haram karena pekerjaannya, karena dosanya bagi pelakunya, bukan bagi siapa saja yang mendapatkannya melalui jalan yang mubah dari pelaku tersebut, berbeda dengan harta haram karena dzatnya, seperti khamr, barang curian dan lain sebagainya.
Pendapat ini tepat dan kuat, berdasarkan dalil bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah membeli makanan dari orang yahudi untuk keluarganya, beliau juga telah memakan kambing yang dihadiahi oleh wanita yahudi Khaibar, beliau juga telah memenuhi undangan orang yahudi, sebagaimana diketahui bahwa mereka sebagian besarnya telah berlaku riba dan memakan harta yang haram.
Kemungkinan yang menguatkan pendapat ini juga, sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- terkait masalah daging yang telah disedekahkan kepada Barirah:
هو لها صدقة ، ولنا منها هدية انتهى
“Daging itu menjadi sedekah baginya, dan menjadi hadiah bagi kami”.
(Al Qaul Al Mufid ‘ala Kitab Tauhid: 3/112)
Beliau –rahimahullah- juga berkata:
“Coba anda lihat Barirah pembantu ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anhuma- misalnya, dia diberi sedekah daging, maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika memasuki rumah beliau, seraya mendapatkan bejana di atas api, lalu beliau mengajak makan namun daging tersebut tidak dihidangkan, dihidangkan makanan lain dan tidak ada daging, lalu beliau bersabda: “Sepertinya saya melihat bejana di atas api ?” mereka berkata: “Iya betul wahai Rasulullah, akan tetapi yang di dalamnya itu daging sedekah yang diberikan kepada Barirah”.
Dan Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak memakan sedekah, seraya beliau bersabda:
هو لها صدقة ، ولنا هدية
“Daging itu baginya sedekah, dan bagi kami adalah hadiah”.
Lalu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- memakannya, padahal diharamkan bagi beliau untuk memakan sedekah; karena beliau tidak menerimanya sebagai harta sedekah, akan tetapi beliau terima sebagai harta hadiah.
Kepada mereka pada ikhwah kami katakan:
Makanlah dari harta ayah kalian dengan senang hati, meskipun menjadi dosa dan bencana bagi ayah kalian, kecuali Allah -‘Azza wa Jalla- memberikan hidayah kepadanya dan bertaubat kepada-Nya, barang siapa yang bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya. (Al Liqo Asy Syahri: 45/26)
Alasan ini bisa dijawab dengan membedakan antara dua hal: bahwa Barirah telah mengambil harta tersebut dengan cara yang mubah lalu menjadi miliknya, lalu ia berhak untuk memberikannya sebagai hadiah kepada orang lain.
Sementara orang yang melakukan riba, ia tidak memiliki harta tersebut dengan jalan yang disyari’atkan, hingga bisa ia pindahkan kepada orang lain.
Iya, hal ini benar jika orang yang berlaku riba tersebut sudah bertaubat, pendapat kami adalah ia boleh memiliki harta itu jika belum tahu akan keharamannya, atau ia sudah tahu –sebagaimana kecenderungan pendapatnya Syeikh Islam- maka pada saat itulah, jika ia hadiahkan kepada orang lain maka dibolehkan, dan inilah analogi dengan hadits Barirah.
Adapun jika ia belum bertaubat, maka ia tidak bisa memiliki harta tersebut, juga tidak bisa pindah kepada orang lain, tidak dengan cara hibah atau dengan diwariskan; karena secara syar’i ia bukan pemiliknya.
Dalam hal ini, anda ketahui bahwa madzhab jumhur adalah madzhab yang kuat, ia sesuai dengan hukum asalnya, bahwa pelaku (riba) itu bukan pemilik harta tersebut sampai ia pindahkan kepada orang lain.
Ibnu Rajab telah menyebutkan pada tempat yang diisyaratkan tadi menurut sebagian atsar terdahulu dalam hal larangan tersebut, sesuai dengan pendapat jumhur, ia juga berkata: “Dan yang bertentangan dengan riwayat dari Ibnu Mas’ud dan Salman adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar As Shiddiq bahwa beliau pernah memakan makanan lalu beliau menjelaskan bahwa itu berasal dari harta haram, lalu beliau memuntahkannya”. (Jami’ Ulum wa Al Hikam: 1/211)
Oleh karenanya Lajnah Daimah telah berfatwa bahwa bunga riba itu tidak bisa diwariskan, anaknya juga tidak boleh memakannya”. (Fatawa Lajnah Daimah: 16/455 dan 22/344.
Baca juga untuk tambahan penjelasan:
Ahkam Al Maal Al Haram wa Dhawabithu Al Intifa’ wa Tasharruf bihi fi Al Fiqhi Al Islami, DR. Abbas Ahmad Al Baaz, hal: 73-92, buku ini termasuk risalah ilmiyah, beliau menyimpulkan bahwa madzhab jumhur yang rajih.
Jami’ Al Ulum wa Al Hikam karya Ibnu Rajab Al Hambali: 1/208-211.
Baca juga jawaban soal nomor: 70491 untuk mengetahui sikap seorang muslim pada saat berhadapan dengan masalah-masalah ijtihadiyah.
Cepatnya proses pinjaman dana melalui fintech pendanaan bersama atau p2p lending membuat platform keuangan berbasis digital ini banyak diminati oleh masyarakat. Minat masyarakat untuk menjadi peminjam dana atau borrower di p2p lending bisa dibilang tinggi.
Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Desember 2020 menunjukkan data borrower atau peminjam dana sebesar 43.561.362 entitas (naik 134,59% yoy) dengan akumulasi penyaluran pinjaman nasional sebesar Rp155,90 triliun (naik 91,30% yoy). Sebaran demografi peminjam dana selama rentang tahun 2020 adalah usia 19-34 tahun di 67,19%, 35-54 tahun sebesar 30,44%, usia lebih dari 54 tahun 1,36% dan di bawah 19 tahun 1,01%.
Kenaikan jumlah peminjam dana tentunya tidak lepas dari tumbuhnya perusahaan fintech pendanaan bersama legal sebanyak 149 perusahaan yang terdaftar di OJK per Desember 2020. Dan faktor utama naiknya angka peminjam dana adalah kondisi ekonomi keluarga maupun bisnis yang mengalami penurunan akibat pandemi covid-19.
Namun, apakah semua orang bisa melakukan pinjaman dana di fintech pendanaan bersama?
Perintah Mencari Harta Halal
Bekerja mencari harta yang halal, merupakan hal yang terpuji dalam Islam. Allah SWT memerintahkan manusia agar berkerja dan berusaha untuk mencari yang halal.
Dalam Surat Al-Mulk Ayat 15, Allah SWT berfirman,
هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلْأَرْضَ ذَلُولًا فَٱمْشُوا۟ فِى مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا۟ مِن رِّزْقِهِۦ ۖ وَإِلَيْهِ ٱلنُّشُورُ
Artinya: Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.
Dalam hadits, Rasulullah SAW juga memuji harta yang baik karena diperoleh dengan cara halal. Beliau berpesan kepada Amr bin al-Ash, "Wahai Ar, sebaik-baik harta adalah harta yang shalih yang dimiliki laki-laki yang shalih." (HR. Ahmad)
Keutamaan bagi Orang yang Mencari Harta Halal
Ada banyak keutamaan bagi orang-orang yang membatasi diri dengan yang halal. Beberapa hadits menjelaskan keutamaannya.
Golongan Orang yang Berhak Menerima Zakat Fitrah (mustahik)
Siapa saja yang termasuk dalam golongan orang yang berhak menerima zakat? Beberapa diantaranya adalah orang sedang mengalami kesusahan ekonomi dan saat ini berjuang di jalan Allah.
Islam menilai mereka termasuk dalam golongan orang yang berhak menerima zakat karena sedang berjuang untuk menuju pada kebaikan. Zakat merupakan salah satu manifestasi dari semangat untuk saling menolong tersebut.
Menurut Badan Zakat Nasional (BAZNAS), ada delapan golongan orang yang berhak menerima zakat di antaranya:
Kelompok pertama dari golongan orang yang berhak menerima zakat adalah fakir. Kategori yang masuk kelompok fakir adalah orang yang berada di bawah kemiskinan karena tidak mempunyai sumber penghasilan. Salah satu penyebabnya adalah sakit yang membuatnya tidak dapat bekerja dan mendapatkan penghasilan.
Kedua, golongan orang yang berhak menerima zakat adalah orang miskin. Kelompok ini secara ekonomi masih kekurangan namun sudah mempunyai sumber penghasilan akan tetapi hasilnya tidak dapat memenuhi kebutuhan.
Golongan orang yang berhak menerima zakat perlu mendapat pertolongan sehingga lebih bisa berusaha untuk mendapatkan rezeki. Sebagai sesama Muslim bisa membantu dengan banyak cara agar mereka segera keluar dari kemiskinan.
Yang termasuk dalam kelompok hamba sahaya adalah orang yang saat ini hidupnya belum merdeka atau menjadi budak. Zaman dulu golongan orang yang berhak menerima zakat dalam kelompok ini cukup banyak.
Gharim merupakan kelompok orang yang mempunyai hutang dan kesulitan untuk membayarnya. Mereka termasuk dalam golongan orang yang berhak menerima zakat sehingga bisa mengurangi masalahnya.
Solidaritas umat Muslim sangat tinggi untuk saling mendukung. Salah satunya kepada mualaf, yaitu orang yang baru saja memeluk Islam. Tidak sedikit Mualaf yang mengalami kesulitan sehingga masuk sebagai golongan orang yang berhak menerima zakat.
Yang termasuk Fisabilillah adalah orang dimana saat ini sedang berjuang di jalan Allah. Banyaknya rintangan dan waktu yang tercurah untuk Agama perlu mendapat apresiasi dengan memberikan zakat. Hal ini sesuai dengan ketentuan Al Quran. Fisabilillah juga termasuk golongan orang yang berhak menerima zakat.
Seorang musafir bisa saja kehabisan perbekalan. Oleh karena itu mereka termasuk golongan orang yang berhak menerima zakat. Dengan demikian kebutuhannya selama dalam perjalanan terpenuhi.
Yaitu orang yang mengurus penerimaan dan pembagian zakat. Muslim yang membantu mengurusnya termasuk golongan orang yang berhak menerima zakat. Biasanya masjid atau mushola akan membentuk panitia penerima dan penyalur zakat sebelum memasuki bulan Ramadhan.
Harta haram sudah seharusnya dijauhi. Artinya, kita tidak boleh mencari pekerjaan dari usaha yang haram. Jika terlanjur memilikinya, harus dicuci atau dibersihkan dari harta yang halal. Adapun pembagian harta haram secara mudahnya dibagi menjadi harta haram karena zat -seperti daging babi- dan karena pekerjaan -seperti harta riba dari bunga bank-.
Apa itu Mustahik dan Muzakki?
Mustahik dan Muzakki adalah istilah yang dekat dengan pengetahuan tentang golongan orang yang berhak menerima zakat. Kedua hal tersebut berhubungan langsung dengan proses pembayaran kewajiban umat Muslim ini.
Mustahik adalah sebutan untuk orang yang dalam ketentuan agama ditetapkan sebagai penerima atau yang berhak untuk menerima zakat. Golongan orang yang berhak menerima zakat ini sendiri ada beberapa macam.
Sedangkan Muzakki adalah orang yang sudah mempunyai kewajiban untuk membayar zakat karena sudah mencapai ketentuan. Pemahaman tentang golongan orang yang berhak menerima zakat dan kriteria sehingga pemilik harta wajib mengeluarkannya sudah jelas dalam Al Quran.
Ini 8 Golongan Orang yang Berhak Menerima Zakat
Golongan orang yang berhak menerima zakat ada beberapa jenis. Sebagai Muslim yang sudah memenuhi ketentuan wajib membayar atau mengeluarkan zakat, baik Fitrah, Mall maupun Profesi. Agar tidak salah, Anda perlu mengetahui siapa saja yang berhak untuk menerimanya.
Selama ini zakat umumnya dibagikan melalui amil atau seseorang yang ditugaskan dalam pembagian zakat. Ada juga yang berpendapat bahwa zakat boleh langsung dibagikan sendiri kepada golongan orang yang berhak menerima zakat. Meski demikian, hal itu boleh dilakukan jika tidak ada amil zakat atau amil tersebut terbukti tidak amanah.
Yang bisa memanfaatkan pinjaman dana dari fintech pendanaan
Sebagian besar perusahaan fintech pendanaan bersama memiliki persyaratan utama yang sama yaitu warga negara Indonesia, memiliki KTP, mempunyai slip gaji, mempunyai bukti kepemilikan usaha.
Ya, dana dari fintech pendanaan bersama memang bisa dimanfaatkan untuk keperluan pribadi maupun usaha. Tapi, ternyata tidak semua juga bisa mendapatkan pinjaman dana karena jika Anda mengajukan ke fintech pendanaan legal akan ada proses skoring kredit. Yang nantinya akan menentukan apakah Anda layak mendapatkan pinjaman dana atau tidak.
Adapun yang bisa memanfaatkan pinjaman dana dari fintech pendanaan sebagai berikut.